Jumat, 11 Juli 2014

Senyum Khalid (part 1)

Malam ini aliran musim dingin merayap-rayap di sela pori-pori bumi. Langit terasa begitu anggun. Ada telaga disana dengan segala pesona gemintang dan rembulan yang sedemikian fitri. Langit seakan tak pernah jemu untuk senantiasa setia dan patuh menerangi alam raya untuk bumi yang subur itu. Bumi yang subur dengan darah para intifadha. Bumi yang menjadi saksi air mata, keperihan serta kepayahan yang tiada terkata. Ya! Dialah bumi Gaza, Palestina.

Penduduk Palestina ibarat pelarian di bumi sendiri. Setiap hari yang dilalui oleh mereka hanyalah derita, penganiayaan dan penindasan. Namun kesemua itu bukanlah penghalang bagi mereka untuk mempertahankan tanah suci Al-quds. Kiblat pertama umat Islam. Meski sudah beberapa dekade bumi itu dibasahi darah, sayangnya hanya sedikit yang berani bangkit membela tanah itu dari para zionis. Hanya mereka yang memiliki jiwa ksatria yang berani tampil di depan untuk memperjuangkan bumi Anbiya'.

Tidak terkecuali Khalid. Si anak Palestina yang baru menginjak usia sebelas tahun. Seorang anak yang dibesarkan di bawah desingan peluru dan mesiu. Bunyi tembakan, bom dan deruman kereta tebal sudah menjadi lagu keseharian yang masuk ke telinganya sehari-hari.

Mungkin itulah lagu pengantar tidurnya.
Mungkin.

****

"Ummah ...ummah...!!" jeritan Khalid memecah kesunyian malam sekaligus mengejutkan ibunya yang sedang bertahajjud. Ibunya cepat-cepat menyelesaikan shalatnya dan segera menuju ke arah Khalid yang baru saja bangun dari tidurnya. Tubuhnya bermandikan peluh dingin. Seolah-olah terlepas dari mimpi yang menakutkan.

"Ada apa anakku?" suara lembut ibunya menenangkan Khalid. Pertanyaan ibunya tidak mendapatkan jawaban darinya melainkan pelukan erat Khalid yang seakan-akan enggan untuk dilepaskan. Si ibu hanya bisa mengusap lembut kepala Khalid. Setelah beberapa lama keduanya saling terdiam, Khalid melepaskan pelukannya.

"Ummah, Abuyaa dimana? Mengapa Abuyaa belum pulang ke rumah? Khalid rindu Abuyaa. Khalid sayang Abuyaa. Mengapa orang Islam tidak mau menolong Abuyaa? Tidak mau menolong kita? Bukankah kita semua bersaudara?" kata Khalid memecah keheningan malam diselingi sedikit isak tangisnya.

Deg. Ibunya tertegun. Pertanyaan Khalid sudah seperti pertanyaan orang dewasa. Begitu dewasa jika dibandingkan dengan usianya. Sementara anak-anak di belahan penjuru bumi yang lain sibuk membicarakan soal kartun dan superhero kegemaran mereka. Bahkan bercengkerama dikelilingi teknologi canggih seperti smartphone, tablet, laptop, serta menikmati berbagai makanan cepat saji dan bergepok uang. Tapi itu semua tidak berlaku pada Khalid. Tubuhnya kecil, namun jiwanya besar. Yang dibahas sehari-hari hanyalah tentang perjuangan dan keinginannya untuk menikmati hidup yang bebas,aman dan berkumpul kembali dengan Ummah dan Abuyaa. Pertanyaan Khalid tidak segera dijawab oleh ibunya. Hanya senyuman manis dan pelukan menenangkanlah yang ia hadiahkan kepada Khalid.

"Anakku, bukankah Allah senantiasa bersama kita? Allah akan bantu hambaNya yang beriman dan beramal sholeh. Menjadi orang beriman dan soleh bukan perkara mudah. Taati perintahNya dan tinggalkan laranganNya jauh-jauh. Khalid harus menjadi orang yang beriman dan sholeh ya Nak ya? InshaAllah, Allah pasti membantu. Allah akan membebaskan bumi kita ini." kata Ibunya.

Khalid hanya mampu mengangguk. Kepalanya direbahkan di pangkuan ibunya. Ibunya mengusap-usap kepalanya. "Nak, hidup ini umpama sebuah perjuangan. Dan kita tidak boleh berhenti berjuang walau sesaat. Tujuan hidup kita ini cuma satu yaitu untuk mengejar ridhoNya. Dalam masa yang sama untuk mengecap nikmat Islam dan mendekatkan diri kita pada syurgaNya. Begitulah hidup kita. Hidup seperti seorang pejuang. Sabarlah wahai anakku. Bantuan Allah pasti tiba. Jika bukan hari ini, inshaAllah esok. Percayalah. Teruskan berusaha dan berdoa pada Allah." sambung ibunya lagi. "Ummah, kalau begitu Khalid shalat dulu, setelah itu Khalid mau doa banyak-banyak supaya Allah bantu kita, boleh kan ummah?" Ibunya cuma mengangguk sambil tersenyum. Khalid bergegas bangun untuk mengambil air wudhu.

Sluuuuutttt.....doooooorrr!!!!!!! Belum sempat Khalid melangkah tiba-tiba dentuman bom mengejutkan keduanya. Bunyinya yang menggelegar bak guntur mampu menggegarkan rumahnya. Ibunya segera menarik tangan Khalid dan menyembunyikannya di belakang almari usang di kamarnya. Sekali lagi, dentuman bom tersebut memecah keheningan malam dan berhasil memekakkan telinga bagi yang mendengarnya. Meskipun sudah berulang kali mendengar bunyi tersebut, Khalid tetap merasa kecut nyalinya terlebih saat ia mengingat banyak yang cacat akibat bom tersebut. Deru tembak saling bersahutan.

Brakkk!!! Tiba-tiba pintu rumahnya ditendang kuat hingga terbuka. Ibu Khalid mendorong Khalid agar terus berlari dan bersembunyi di belakang almari. Badannya menggigil ketakutan. Ibunya yang belum sempat melarikan diri ditahan oleh seorang tentara zionis laknatullah.

*****

Ya, saat itu memang masih segar di dalam kotak memorinya. Meninggalkan parut dan belati yang tidak mungkin hilang pada hatinya. Ibunya disiksa. Silih berganti popor senapan melayang ke tubuh renta ibunya. Tendangan, makian dan sumpah serapah keluar dari mulut tentara tersebut manakala ibunya berkata : "Suami saya tidak di rumah. Saya tidak tau dia dimana. Dia adalah syuhada., bukan teroris." teriak Ibu Khalid. Plak!!!! 1 tamparan keras melayang ke pipinya hingga tanpa sadar merobek sudut bibirnya. Darah segar mengalir. Tak ayal tendangan pun ikut memainkan tubuh sang ibu hingga terhimpit ke tembok, menambah perih pemandangan. Semuanya itu disaksikan di depan mata Khalid. Hati Khalid memberontak. Tangan tergenggam erat. Ia marah. Ia tidak rela melihat ibunya diperlakukan sebegitu rupa. Tiba-tiba, matanya menangkap sebuah senapan yang tersangkut di belakang almari tempat ia bersembunyi. Mungkin itu adalah senapan milik ayahnya yang sengaja disembunyikan dalam keadaan darurat.

Entah dari mana sepenggal keberanian tiba-tiba menyusup masuk ke setiap saraf Khalid. Tangannya segera mencapai senapan bertipe AK-47 itu dan dia cepat-cepat keluar dari bilik persembunyiannya. Khalid melangkah perlahan, senapan itu diacungkan. Malangnya, kehadirannya disadari oleh tentara itu. Senapan itu segera dirampasnya, peluru dikeluarkan lalu dicampakkan ke arah Khalid. Tentera itu segera mencengkeram kerah baju Khalid, mengangkatnya lalu menggertaknya. "Hey anak ingusan. Apa yang kau tahu hah??"
"Berhenti memperlakukan ibuku sebegitu rupa. Kamu laknatullah!" jawab Khalid dengan lantang. "Kalian adalah budak kami. Tak akan ada siapapun akan datang menyelematkan ibumu, budak kecil. Hahaha!" hardik tentera zionis itu. Ia terus tertawa terbahak-bahak, congkak dan tanpa rasa perikemanusiaan. Tangannya lalu membuka paksa kerudung hitam yang menutupi kepala ibu Khalid. Lalu menjambaknya keras hingga beberapa helai rambut itu terlepas dari buhulnya.
"Kalian semua jahat. Kalian semua iblis. Allah pasti melaknatmu. Pasti. Tunggu saja. Allah pasti menghukummu dengan azab yang keras!" teriak Khalid. Tegas, berani dan penuh keyakinan. Keberanian yang tidak ada pada anak lain yang seusia dengannya.

"Allah? Mana Allah kau hah? Mana dia sekarang? Aku sudah muak dengan Allah kau itu. Allah kau lemah, tak mampu buat apa-apa. Buktinya, kami sudah hampir 7 dekade menguasai bumi ini. Entah berapa kali aku mendengar laungan nama Allah. Tapi, apa hasilnya? Kami tetap berkuasa! Hahahaha.."Si zionis gila itu terus tergelak besar.

Melihat ibunya yang masih terus menerus disiksa bertaruh nyawa ditambah kata-kata congkak lelaki tersebut dalam menghina Tuhannya, Khalid marah. Kemarahan yang tidak terhingga meresap ke seluruh pembuluh darahnya. Jantungnya berdegup kencang. Kali ini, Khalid nekad. Nekad untuk membunuh lelaki itu. Dia segera berontak melepaskan diri dari genggaman lelaki itu, lalu secepat kilat merampas senapan milik sang tentara yang terselip di belakang baju seragamnya. Diacungkannya senjata itu di hadapan sang tentara.
"Ya Allah, sesungguhnya aku memang lemah ya Allah. Tetapi aku tahu, kelemahan itu tidak berlaku padaMu. Tunjukkanlah kekuasaanMu, ya Allah…Bismillah...Allohuakbar!!!!" Khalid bertakbir. Tawakkal kepada-Nya. Penuh pengharapan. Pucuk senapan itu ditekannya, diacungkan tepat ke arah dada sang zionis. Cletak!!!tooorr!!! Entah kekuatan dari mana senapan itu meludahkan pelurunya tepat mengenai dada kiri tentera zionis gila itu. Sang tentara zionis itu mengerang kesakitan dan naik pitam. Direbutnya kembali senapan dari tangan Khalid dan dibenturkanlah tubuh kecil Khalid ke arah tembok. Laki-laki itu melepaskan dendamnya. Entah berapa puluh kali tembakan dilepaskan kepada ibu Khalid. Ibunya kaku bersujud. Rumah itu bermandi darah. Brukkk!!! Tentara zionis pun ikut menyusul lunglai meregang nyawa.

"Ummaaah!!!" Khalid menjerit. Tangan ibunya digenggamnya erat-erat. Pucat, kaku,tidak bernyawa. Darah merah mengalir di seluruh tubuh ibunya. Air mata mengalir deras menuruni pipi gembil Khalid. Hatinya terasa begitu pedih bak diiris sembilu. Malah lebih pedih dari itu. Khalid mengacak-acak rambut keritingnya. Frustasi. Dia ingin mengabarkan kepada seluruh dunia tentang kekejaman zionis. Bukan tentang ibunya saja tapi juga tentang nasib penduduk bumi Gaza lainnya. Khalid tetap menangis, menghentak-hentakkan kakinya ke lantai rumahnya. "Allah...Allah....Allah, Khalid ikhlas Ummah menghadapmu. Khalid yakin Ummah pasti bersenang-senang di sisiMu. Ummah pasti disayang Allah. Beri Khalid kekuatan ya Allah, agar Khalid bisa sekuat Ummah dan Abuyaa. Khalid ingin berkumpul dengan mereka di surga, ya Allah." Sepenggal doa diucapkan Khalid di rumah berdarah itu. Batinnya terus menjerit. Bukan menjerit kesal atas pemergian ibunya saja, tetapi kecewa dengan pemimpin-pemimpin dan rekan-rekan yang seaqidah dengannya. Konon mengaku saudara. Tetapi tidak berbuat apa-apa yang selayaknya sebagai seorang saudara. Saudarakah itu?

****

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

0 komentar:

Posting Komentar