Rabu, 23 April 2014

Fesbuk Oh Fesbuk







Kita menyebutnya Jejaring Sosial. Ada blog, twitter, facebook, dan sebagainya. Kalau jaman dulu ada friendster, tapi sejak facebook muncul, pelan-pelan orang meninggalkannya.
Saya mengamati, polanya sama. Hanya orang-orang tertentu memiliki akun friendster, lalu mewabah, sampai anak kecil pun punya. Akhirnya friendster pun ramai dengan akun-akun, dan aktifitas yang sangat tidak penting. “kok cuma nge view sih, coment dong..”
“Eh, coment aku balik ya..” begitu seterusnya.
Lalu, orang-orang yang melihat friendster mulai tidak sehat, dengan banyaknya akun ‘aneh’ dan nama-nama aneh, akhirnya pelan-pelan orang-orang tertentu beralih ke facebook. Supaya berbeda, lebih ‘tenang’, aktifitas sosial juga nyaman. Tapi apa yang terjadi? tetap saja, akhirnya facebook pun mewabah. Setiap orang memilikinya. Dari ustadz, hingga anak SD. Cuman memang hingga sekarang, facebook masih tetap diminati. Mungkin karena ternyata aplikasinya terus menerus berkembang.
Saya tidak ingin membahas tentang detail facebook, twitter dan sebagainya. Tapi saya ingin menyoroti tentang fungsinya.
Kalau saya tanya, untuk apa anda menggunakan jejaring sosial tersebut? Jawabannya saya pikir sebenarnya semua sama : Sosialisasi.
Walaupun kemudian prakteknya untuk berbisnis, berdakwah, meneror, eksistensi, pamer, dan sebagainya, tapi kerucutnya adalah sosialisasi bukan?
Sebab nantinya anda akan menambah banyak teman, mengirimi permintaan pertemanan, menerima permintaan pertemanan, seputar itu. Intinya berhubungan dengan orang lain.
Dan dalam berjejaring sosial tentu -meski tidak bertemu langsung- tetap ada interaksi sosial, dan tentu ada aturannya. Ya, ada aturan, meski tidak tertulis, ada norma dan etika yang harus dipahami oleh setiap orang. Karena ini adalah jejaring sosial. Ada kepentingan orang lain yang masuk. Bukan cuma kita berinteraksi dengan diri sendiri, tapi juga orang lain. Kecuali anda memprivate seluruh kiriman yang anda buat, khusus untuk anda sendiri.

Apakah anda berpikir seperti ini?


Makanya saya teramat sangat heran dengan beberapa orang yang menggunakan jejaring sosial ini ‘kelewat batas’. Menampilkan sisi-sisi yang bagi saya terlalu privat, mengumbar ‘area’ yang terlalu tidak penting, narsisme berlebihan, percakapan suami-istri yang seharusnya cukup dikonsumsi berdua saja.
Jika itu semua dilakukan sekali atau dua kali dalam seminggu atau dalam sebulan, mungkin wajar. Setiap orang memang mungkin memiliki masa ‘uncontrolled’ yang kadang saya pun juga. Tapi jika setiap jam, setiap menit, setiap waktu?
bahkan, memanfaatkan jejaring sosial ini sebagai diary sehari-hari. Mulai sholat tahajud hingga tidur lagi? kemana, dengan siapa, sedang apa, apa yang dilihat, apa yang dimakan?
oh.. ayolah… Saya kira setiap kita suka adanya privasi.
Lagipula untuk apa menshare agar semua orang tau?
Saya ingat, ketika Jejaring sosial belum se mewabah sekarang, hingga blog, facebook, twitter masih sedikit yang punya, saya mengalami hal yang ‘janggal’ yang mungkin mustahil untuk terjadi sekarang.
Saya ditegur oleh seorang teman, yang mempertanyakan “Sonia, kenapa profesi orang tuamu ditulis di blog segala? itu kan pribadi..”
Yap. Mungkin karena teman saya tersebut memahami posisi saya, serta menghormati privasi saya, sehingga dia merasa saya ‘sedikit’ melewati batas. Tidak pantas, jika saya ‘membuka’ sesuatu yang mungkin bukan hak orang lain untuk tahu.
Lain lagi, pernah di suatu acara, seorang pembicara menyindir seseorang (entah itu siapa) “Akhwat kok posting blog tengah malam. Jam 1 malam, lagi,. isinya juga keluhan semua.. bla..bla..” kira-kira begitu intinya.
Saat itu masih jarang sekali yang memiliki blog. Saya yang saat itu sudah punya blog, dan beberapa hari sebelumnya posting tengah malam, di rumah, dan karena baru sempat jam segitu, merasa tersindir juga. Meskipun sampai sekarang saya kurang tau alasan ‘tidak boleh’ nya. Dan sekarang, ummahat-ummahat yang paham agama pun masih berposting-posting ria di facebook, twitter, dan blog malam hari. Hmm.. Lupakan.
Setidaknya, sejak itu saya juga berhati-hati untuk setiap isi posting di blog. Bukan keluhan, dan tidak terlalu mengumbar privasi.
Namun yang terjadi sekarang, seiring maraknya jejaring sosial, batas privasi dan publik semakin kabur.
Beberapa orang (meski tidak semua) memfungsikan sebagai diary pribadi, komunikasi dengan pasangan, mempublish permasalahan keluarga, urusan rumah tangga, dan sebagainya. Kadang sesuatu yang sangat tidak penting pun dipublikasikan. Targetan pribadi, hasrat menikah, isi kamar, nama boneka! Ditambah lagi, dengan frekuensi yang sering, dan kontinu.
Risih, ketika setiap kita membuka facebook, muncul status panjang ataupun pendek yang mengumbar privasi tersebut. Kadang saya bertanya, apa pentingnya membuka setiap detail pribadi kita ke publik? Apa untungnya publik tahu nama kecil, panggilan sayang, atau sedang apa kita dengan suami kita?
Pemakluman itu kadang ada, apalagi kalau kita melihat sepasang pengantin baru yang tidak melalui masa pacaran, lalu mereka memasang foto berdua, atau memuji pasangannya. Tapi, jika sehari tujuh kali, setiap jam, setiap waktu, kapan dan dimana disampaikan? oh tidak.. Membacanya saja malu sendiri.
Jujur, beberapa kali saya mengambil tindakan ‘aman’ untuk menyembunyikan saja status-status personal yang bagi saya lumayan membuat ‘bosan’. Galau silahkan, euforia pengantin baru silahkan, tapi bijaklah..
Ada ribuan pasang mata yang membaca, menyimak, dan mengamati aktivitas kita. Jangan salahkan orang jika menganggap kita terlalu over atau berlebihan. Jikalau pun masih ada yang suka, atau berkomentar positif, bisa jadi mereka setipe dengan kita, atau di lain waktu menertawakan kita.
Benar, yang dikatakan seorang kawan, bahwa ini hubungannya dengan kematangan emosional. Kata lainnya adalah kedewasaan seseorang. Suatu hari saya berpikir “Ya gini nih, kalau anak kecil menikah..” saat membaca status-status berlebihan seperti “Jadi tukang pijat dadakan nih..” “Hihihi.. sembunyikan sandal Kanda dulu ah..” dan sejenisnya. Banyak sekali kalau disebutkan satu persatu.
Kedewasaan. Itulah yang dibutuhkan untuk tetap terjaga di dunia maya ini. Mungkinkah seseorang berusia 30 tahun akan tetap mengupdate status tentang nama-nama bonekanya? 25 tahun saja bagi saya saja sudah tidak wajar. Tapi kalau anak usia 13 tahun boleh lah.
Mungkinkah orang berputra lima akan mengupdate “Habis ditelepon Kanda, tanya sudah makan atau belum, luv u Kakanda..mumumumu..”?Artinya, ini masalah ‘belum’ dewasa saja. Saya yakin suatu saat mereka akan dewasa, seiring waktu yang berjalan. Dan mungkin akan malu sendiri dengan kekhilafan yang dulu pernah dia lakukan, dan disaksikan banyak orang. Jujur, saya pun pernah mengalaminya.Wallahu’alam bishowab.

0 komentar:

Posting Komentar