Minggu, 06 April 2014

Sajak Air Mata


Tidak ada yang tahu berapa kali langit berganti musim

Di pelupuk ini mungkin akan tetap sama

Bermusim dua di langit hati berbeda

Mendung-mendung bergelantungan menyimpan dingin dan rinai

Mereka sebagai memori yang membawa rindu

Bersama langkahku yang terbirit-birit untuk mendekapnya; jauh darimu



Langit mendung hati yang patah-patah adalah perpisahan kelabu dengan awan putih

Bersiap mencabik-cabik senyum dari pelangi mana pun

Hingga mata bulat bercucuran luka jelma air mata

Sama seperti sebelum sayapku patah dan tinggi walau tidak bisa terbang

Atau sakit berdarah-darah di saat dirimu belajar lupa aku

Sampai pada nadir aku tidak boleh pergi ke khayangan, apalagi merindui anak dewa

Tidak apa, nanti aku akan mencintaimu lagi--entah kapan



Dari kisah sampai lara, mendung yang dibawa angin patahnya sayapku

Menyampaikan risalah dari kepak yang patah

Bahwa aku tidak bisa terbang tinggi lagi, bahkan sudah terjatuh dan tidak ingin bangun

Sakitnya sudah lekat dan dipahat--mungkin--terlalu dalam di dasar sana

Tidak apa, karena setiap sakit adalah ingatanku menduamu

Membuat kita terseok-seok berlari dari langit hati kelabu



Kepada hujan yang akan menggerimisi pelupuk mataku dari mendung

Aku akan diam-diam berpaling ke barat, tempat matahari terbenam itu; sepi

Tidak akan ada seorang pun melihat basahnya atau mendengar rintik hujan yang terjatuh

Bahkan aku bisa meraung-raung tanpa harus sembunyikan sisa sayap patah di punggungku

Tidak apa, karena aku telah berdamai dengan bilah sayap terluka



Hujan-hujan di pelupuk mata...

Ternyata miris lebih dari yang aku duga

Setiap bening yang bergulir adalah keegoisan yang menikahi dua muara

Ada juga yang bertatih menyimpan rasa cinta yang kemudian tidak bersemi sempurna;

karena aku bunuh dengan logika yang merajam hati

Lainnya adalah sisa-sisa kasih sayang, kebahagiaan, kesetiaan, pengkhianatan, dan penyesalan

Hujan-hujan di pelupuk mata itu

Hanya jari-jari semu yang menyekanya

0 komentar:

Posting Komentar