Selasa, 15 April 2014

Mushaf Cinta dari Ghaza Part II

Gelap. Sangat gelap. Tak ada satu titik cahaya pun, seolah aku berada di sebuah malam yang menyembunyikan seluruh sinarnya. Aku merasa gamang, mungkinkah aku telah mati? Lalu, suara yang kukenal melintasi lembaran ingatanku.
"Namanya Athaya, dia adalah fotografer asal Indonesia." Suara itu, Yasir. "Bantu aku mengembalikan Al Quran yang kupinjam darinya."
Ah, Al Quran itu! Kurogoh saku jaketku, mencari sebuah buku kecil setebal kamus yang tadinya kusimpan di saku jaketku. Tak ada. Tak ada! Buku itu hilang. Kitab suci milik Athaya telah hilang! Bagaimana aku akan mengembalikannya?
Tiba-tiba kurasa diriku tak bertanggung jawab. Ahh, harus kucari kitab suci itu, harus kukembalikan pada Athaya. Tapi, bagaimana aku bisa mencarinya di dalam gelap?
Saat aku merasa sedikit putus asa, dari kejauhan sayup-sayup suara terdengar membangkitkan sebuah harapan di dalam diriku. Kucari suara itu seperti orang buta yang rindu cahaya.
Semakin lama suara itu semakin jelas terdengar, pelan-pelan memadati ruang di dalam kepalaku. Saat otakku bisa mencerna suara apa itu, aku segera mengenali bahwa itu adalah suara seorang anak perempuan yang melantunkan ayat-ayat Al Quran. Secara ajaib dituntunnya aku hingga setitik cahaya tampak di ujung pandanganku.

**

Seberkas cahaya dari jendela bertirai putih menerangi ruangan tempatku berbaring. Sepertinya di luar sana sedang siang hari.
Kupandangi sekelilingku dengan tenaga yang nyaris tidak ada. Pemandangan yang kudapati hanyalah tubuh-tubuh yang terbaring tak berdaya. Infus, gips dan perban membalut tubuh setiap orang. Laki-laki muda hingga orang tua renta tergeletak menjejali ruangan, seolah ruangan ini adalah satu-satunya ruang pengobatan.
Seorang dokter di depanku sedang memeriksa salah seorang pasien laki-laki muda yang terbaring dengan gips di kaki dan tangannya. Dan di sudut ruangan kulihat duduk seorang bocah perempuan yang melantunkan ayat-ayat dari kitab Al Quran di samping tubuh seorang pria renta yang tak sadarkan diri.
Kualihkan kembali pandanganku pada pria berjas putih di hadapanku. "Dokter, saya ingin bertemu seseorang." Hanya bisa lirih suaraku ketika kupanggil dokter itu, kuharap ia akan membantuku dan meninggalkan sejenak pasiennya yang lain.
Dokter itu mengalihkan perhatiannya padaku. "Alhamdulillah, anda telah siuman." Pria berperawakan khas Timur Tengah itu berjalan ke arahku.
"Dokter, saya harus pergi menemui seseorang." Aku tak peduli meski harus merangkak untuk bangkit dari tempat tidurku, aku akan menemui Athaya-meski sangat sulit rasanya aku bergerak saat ini dengan perban di kepalaku yang terasa berat serta gips di kakiku. "Menemui seseorang? Tapi, kondisi anda saat ini..."
"Saya tahu. Tapi, saya harus bertemu dia. Tolonglah saya, bantu saya keluar dari sini."
"Maaf. Saya tidak bisa membantu anda keluar dari rumah sakit sebelum kondisi anda lebih baik." Dokter itu berkata tegas. "Tapi, saya akan berusaha membantu anda untuk bertemu seseorang yang ingin anda temui, Insha Allah. Siapa orang itu?"
"Namanya Athaya. Dia seorang fotografer asal Indonesia. Terakhir kali dia bersama saya. Gadis muda berjilbab hitam, mengenakan sweater abu-abu dan celana panjang berwarna hitam. Ya, begitulah dia saat terakhir saya melihatnya." Aku menjelaskan semua yang aku ingat tentang Athaya, kuharap dokter itu mengenalnya. "Dia gadis yang suka memberikan permen kepada anak-anak dan membuat anak-anak tersenyum. Dia berkomunikasi dengan tulisan-tulisan di bukunya. Dia... dia bisu."
"Gadis itu?" Dokter itu mengerutkan dahinya.
"Dokter, anda mengenalnya? Anda bisa membantu saya bertemu dia?"
Dengan agak berat dokter itu akhirnya mengangguk. "Baiklah."
Dokter itu kemudian mengambil sebuah kursi roda. Dibantunya aku untuk duduk di kursi roda itu. Lalu dibawanya aku menuju ke tempat lain, ruangan yang lain.
Tak kupedulikan pemandangan-pemandangan kesibukan para perawat dan para dokter yang menangani pasien-pasien yang tampaknya berdatangan tanpa henti-yang kulihat saat melewati lorong rumah sakit, yang ada di dalam kepalaku hanyalah Athaya. Bagaimana keadaannya sekarang?
Segera kuketahui jawaban pertanyaanku saat aku memasuki sebuah ruangan yang membuat jantungku berdebar keras.
Dokter itu membawaku berhenti di samping sebuah brankar, di atasnya terbaring tak bergerak tubuh seseorang yang tertutup selimut putih hingga sekujur tubuhnya-diruangan ini banyak pemandangan serupa terbaris rapi.
Kaku rasanya seluruh tubuhku ketika kubuka kain yang menutupi kepala dari tubuh tak bergerak di hadapanku. Dan wajah itu pun tampak jelas olehku, Athaya. "Ia menghembuskan napas terakhirnya pukul empat pagi tadi." Dokter itu menepuk bahuku, memberi simpati. Kemudian ia pergi meninggalkan aku yang beku disamping Athaya.
Kutatap wajah tenangnya, kuhafal kembali senyumnya. Tak dapat kujelaskan apa yang sedang terjadi dengan perasaanku saat ini. Beberapa menit aku terdiam, hingga akhirnya suaraku berhasil kukeluarkan terbata. "Hai. Namaku... namaku Lorenzo. Kenalkan, namaku Lorenzo." Ada kepedihan yang ingin mendorong keluar tangis dari hatiku. Namun kutahan itu di pelupuk mataku.
Kutatap dia. Dia hanya diam. Dia bisu, aku tahu itu. Tapi, tadinya ia tak sebisu ini. Sungguh aku tak mengerti apa yang begitu hebat di dalam dirinya hingga ia bisa membuatku terpaku membisu di hadapannya kini. Menatapnya serasa ada sesuatu yang menyumbat ruang pernapasanku. Sesak.
"Allah pasti sangat menyayangi anda." Suara dokter itu kembali terdengar di belakangku. Entah kapan dia kembali, tak kudengar langkahnya datang. Tadinya kupikir ia telah pergi untuk mengurusi pasiennya yang lain.
"Sewaktu anda dibawa ke rumah sakit dalam keadaan terluka, saya menemukan ini di saku anda." Diletakkannya dipangkuanku sebuah kantong plastik transparan yang berisi sebuah buku tebal yang kukenal dan potongan besi yang sudah tak berbentuk lagi. "Saya menyimpannya, karena saya pikir anda pasti akan mencarinya."
Kukeluarkan isi plastik itu segera.
"Sebuah Al Quran dan potongan peluru yang telah tak berbentuk lagi." Si dokter berkata lagi. "Tampaknya Al Quran itu telah menahan peluru yang tertuju pada anda. Subhanallah."
Kutatap potongan besi yang telah tak berbentuk di tanganku. Lalu kutatap buku yang kukenal sebagai kitab suci milik Athaya, sampulnya telah rusak, namun isinya masih utuh tanpa cacat. Apa ini? Kenapa? Bagaimana bisa...
Athaya, apa yang Tuhanmu lakukan padaku?
Sesuatu memukul tembok hatiku, sakitnya leburkan kepedihan yang kupendam, mendesak keluar air mata yang tertahan. Kutangisi aku.
Hari ini, 1 Januari 2009. Untuk pertama kalinya aku merasa punya napas setelah sekian lama aku hidup di dunia. Untuk pertama kalinya aku tergerak untuk mengenal Tuhan.
"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata, sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.(QS Al-Baqarah [2]: 155-156).

0 komentar:

Posting Komentar