Senin, 14 April 2014

Mushaf Cinta Dari Gaza

Desember 2008. Aliran musim dingin yang panas merayap-rayap di sela pori-pori Gaza. Ada telaga di sana. Memesona.
Kutatap ia, kesekian kali. Masih terbersit damai di rupanya yang menyejukkan. Sebuah kamera foto tergantung di lehernya dan sebuah tas kain terselempang di bahunya. Kutebak segera profesinya, seorang fotografer profesional atau seorang wartawan.
Sesekali kulihat ia mengambil gambar-gambar di sekelilingnya, abadikan segala kisah ke dalam kameranya. Sesekali pula kulihat ia duduk sendirian, menunduk tanpa suara, khusyu' membaca kitab suci agamanya yang selalu ia bawa-bawa. Dan beberapa kali tampak olehku, ia memberikan lollipop kepada setiap anak yang ia temui dengan senyuman sesejuk telaga di tengah keruhnya Gaza.
Lima hari sudah aku terus menatap ke arahnya saja, dari sejak pertama melihat sosoknya di hadapan mata. Siapa dia?
"Namanya Athaya." Suatu hari Yasir-seorang teman muslim asal Arab yang baru kukenal-berkata.
"Kau mengenalnya?"
Yasir menggeleng. "Aku hanya tahu namanya dari seorang anak yatim autis yang selalu mendapat permen darinya."
Dia gadis yang tak biasa-bagiku-entah mengapa.

"Sapalah dia, jangan hanya melihat dari jauh saja."
Hanya tersenyum kutanggapi kalimat itu. Meski menyapa bukanlah sesulit menciptakan perdamaian di seluruh dunia, tapi tetap begitu berat aku lakukan. Hanya karena satu kekhawatiran yang selalu merebak setiap kulihat ia dan ketaatannya.
Semakin kupikirkan, semakin aku hanya terdiam. Tidak! Aku sebenarnya bukanlah seorang pendiam yang miskin kepercayaan diri. Aku punya lebih dari kepercayaan diri, itulah kenapa aku sampai di tempat ini. Gaza.
Aku di sini karena hidup dan profesi yang kupilih. Guru sukarelawan. Bukan jenis profesi dan hidup yang kusuka memang, kupilih hanya karena aku ingin dan aku bisa. Aku ingin semua anak-anak yang kesulitan mendapatkan pendidikan-dimanapun aku menginjakkan kaki-akan memiliki pendidikan dan ilmu pengetahuan yang baik. Mengingat perjuangan masa kecilku yang terabaikan, bagai seekor anak kucing yang terbuang di jalanan Amerika Selatan yang liar dan tanpa kepedulian semua orang.
Hingga hari ini aku hidup dengan caraku tanpa mengharap belas kasih Tuhan yang katanya penyayang dan sungguh-sungguh ada. Hingga hari ini pandanganku terkunci pada satu ketidak-yakinan bahwa Tuhan tak pernah tidur dan tak pernah menutup mata. Tak pernah kuyakin agama akan selamatkan manusia.
Dan, inilah kekhawatiran yang tersemat kala kutatap dia. Jika ia tahu aku seorang yang tak beragama, akankah ia memandangku?

**
Kelabu pekat langit di atasku saat kulewati sekelompok laki-laki muslim yang sedang bersembahyang di antara puing-puing bangunan di pinggir jalanan, di hadapan mereka berjejer rapi tubuh-tubuh anak-anak yang terbungkus kafan.
Kematian menjadi pemandangan sehari-hari yang menghiasi jalan-jalan di Gaza kala ini. Musim dingin terasa panas oleh hujan misil dari udara. Dan kegelapan menjadi selubung malam yang menyesakkan. Desember hampir berakhir, di negara lain malam tahun baru pasti akan dirayakan dengan indahnya kembang api, pesta dan sorak-sorai bahagia, namun di sini malam tahun baru kemungkinan akan menjadi malam gelap diselimuti tangis dan mayat-mayat di setiap jengkal langkah kaki.
Aku menghembuskan napas. Tuhan-mu sedang tertidur, Gaza.
Kualihkan pandangan pada kitab Al Quran di tanganku. Semalam Yasir memberikan kitab suci umat Islam itu padaku-ia sangat suka membacanya bahkan hafal seluruh isi kitab itu. Kitab yang diberikan Yasir padaku bukanlah miliknya, melainkan milik Athaya-gadis yang sedang kukagumi. Yasir meminjam kitab itu dari Athaya dan kemudian ia justru meminta bantuanku untuk mengembalikannya, alasannya ia harus segera pergi dan tak punya waktu untuk mengembalikan kitab tersebut.

"Sapalah dia, atau kesempatanmu akan hilang tanpa kau duga." Kalimat Yasir terngiang, mengundang senyuman di wajahku.
Kusimpan kembali kitab itu dibalik saku jaketku. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, tak kutemukan sosok Athaya. Dimana dia? Biasanya dia pasti mudah sekali ditemukan di antara reruntuhan bangunan yang di sekitarnya selalu ada orang-orang yang sibuk mengangkat mayat-mayat saudara-saudara mereka dari balik reruntuhan, atau di antara para wanita yang menggendong anak-anaknya dengan wajah sedih dan ketakutan. Jika tak abadikan segala rupa nyata itu di dalam kameranya, maka ia akan ukir senyum pada mereka yang ia sapa.
Dimana dia?
Pandanganku lalu terhenti pada sosok yang sedang berdiri menatap reruntuhan rumah ibadah umat Islam jauh di hadapanku. Athaya? Kuteruskan langkahku menuju ke arahnya.
Saat telah berdiri di sampingnya kutatap juga rumah ibadah yang telah runtuh itu. Tak ada apapun yang bisa kulihat, terkecuali puing-puing bangunan. "Ada sesuatu di sana?" Ingin kutahu apa yang ia lihat sebenarnya.

Athaya menoleh ke arahku. Diambilnya sebuah buku kecil dan pena dari dalam tas kain yang terselempang di bahunya, lalu ia tulis sesuatu, dan diberikannya buku itu padaku.
Aku tak mengerti, namun kubaca tulisannya. Tertulis : aku melihat Tuhanku.
Benarkah?!
Athaya mengambil bukunya dari tanganku, tampaknya ia menangkap keterkejutan dan ketidakpercayaan di dalam diriku. Ia lalu memperlihatkan hasil jepretan kameranya kepadaku.
Satu-persatu kuamati foto-foto di dalam kameranya. Foto-foto reruntuhan rumah ibadah yang berada di depan kami saat ini yang di ambil dari berbagai sudut, lalu foto-foto beberapa kitab Al Quran yang terbuka di antara reruntuhan tersebut. Aku mengernyitkan dahi, dimanakah foto Tuhannya itu? Pikirku, mungkin ia ingin menunjukkan foto sosok Tuhannya yang mungkin tertangkap lensa kameranya tanpa sengaja.
Athaya menuliskan kembali sesuatu di bukunya. Lalu ia perlihatkan lagi tulisannya padaku.

Mushaf-mushaf suci itu masih utuh di tempatnya. Tuhanku menjaganya dengan sangat baik. Tidakkah kau lihat? Salah satu mushaf yang terbuka itu menunjukkan bagian Surah Al Baqarah ayat 155-156.[1] Itu adalah kalimat dari ALLAH.
Aku mengernyitkan dahi lagi tak mengerti. Kulihat gadis itu tersenyum padaku, begitu bahagia. Ia lalu berkata lagi, kali ini dengan isyarat tangan yang semakin membingungkanku.
Athaya tersenyum, menyadari kekonyolannya mungkin, menyadari bahwa aku tak mengerti apa yang ia ucapkan. Ia menuliskan sesuatu di bukunya lagi dan memberi buku itu padaku.
Maaf, aku terlalu bersemangat. Aku harus mengabarkan ini pada penduduk, agar mereka tahu ALLAH selalu berada di sisi mereka.
Kubaca tulisan di buku itu, lalu kutatap Athaya yang menyunggingkan senyuman di wajah cantiknya. Dia menunduk sekilas, berpamitan, lalu pergi segera meninggalkanku.
Dia... bisu? Kusadari hal yang baru kuketahui. Tidak. Itu bukan masalah bagiku. Masalahnya adalah aku belum memperkenalkan diriku padanya! Padahal itulah tujuan utamaku mencarinya. Aku juga harus mengembalikan Al Quran miliknya yang dititipkan Yasir padaku.

"Athaya!" Kukejar dia. "Athaya, tunggu!"
Ia hentikan langkahnya dan berbalik menoleh ke arahku. Saat itulah tiba-tiba sebuah dentuman memekakkan telinga menabrak ruang pendengaranku. Permukaan tanah tempatku berpijak kurasakan berguncang hebat. Dan tubuhku seketika menjadi amat berat saat pandanganku mulai ditutupi oleh kabut perlahan-lahan.
Saat gelap kemudian menyergapku cepat, aku tak dapat melawan rapuhnya kakiku. Aku jatuh tertelan hitam pekat. Wajah Athaya hilang dari pandanganku.
**
Bersambung ke part II 

0 komentar:

Posting Komentar